Berbicara mengenai perempuan, tidak akan jauh dari gerakan kesetaraan atau emansipasi yang merujuk pada domestikasi perempuan. Hal tersebut diperkuat dengan adanya UU Cipta Kerja yang sebelumnya sempat ramai diperbincangkan, dimana pada Pasal 25 Draf RUU Ketahanan Keluarga itu mencerminkan adanya ketimpangan gender.
Ketimpangan itu tersirat dari peran laki-laki yang ditempatkan sebagai kepala keluarga dan tidak dibatasi kiprahnya di ruang publik. Sementara, perempuan cenderung diposisikan sebagai makhluk domestik yang hanya berurusan dengan persoalan kerumahtanggaan.
Pasal ini tidak hanya berpotensi menutup celah dan akses perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya dengan berkiprah di ruang publik. Lebih dari itu, pasal tersebut dengan jelas telah mendorong praktik domestikasi perempuan.
Domestikasi perempuan menurut KBBI dan Merriam adalah perempuan yang dirumahkan atau perannya hanya dipersempit pada ranah domestik saja dan tidak punya atau tidak diakui peran publiknya sama sekali. Diskusi mengenai perempuan memang tak terlihat ujungnya, batasan peran telah menciptakan ketimpangan gender. Meskipun begitu, tak dapat dibantah pula bahwa domestikasi perempuan telah menyelimuti kehidupan masyarakat dari dulu hingga sekarang, yang faktanya masih ada.
Memang benar, kondisi saat ini bisa dikatakan lebih baik bagi perempuan. Disaat yang sama pun, masih bnyak aturan yang menempatkan perempuan menjadi warga kelas dua. Contohnya, seorang istri tidak diperkenankan menolak permintaan maupun perintah suami, namun disisi lain seorang suami seakan leluasa mengabaikan permintaan maupun keinginan istri. Dimana seharusnya, rumah tangga bisa dikatakan setara apabila kewajiban dan hak segala sesuatunya berimbang untuk kedua belah pihak.
Bahkan, dalam Islam perempuan memiliki kewajiban yang sama halnya dengan laki-laki, yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah SWT dan mendakwahkan Islam, Islam sendiri tidak pernah merendahkan perempuan dibuktikan dengan adanya ilmuan Muslimah seperti Syifa’ bint Abdullah Al Quraisyiyah, Guru menulis dan membaca para Shahabiyah termasuk Ummul Mukminin Aisyah dan masih banyak lagi muslimah yang mengambil peran publik pada masa itu. Peran mereka dalam ranah publik tidak membuat mereka lupa diri, mereka sangat menjaga batasan-batasan yang telah Allah tetapkan.
Seorang Perempuan diciptakan bukan untuk dirinya dan keluarganya saja, tetapi juga perannya di publik sangat dibutuhkan. Berdakwah dan mengabdi di masyarakat merupakan bentuk andil perempuan dalam membangun peradaban yang mencerahkan masyarakat.
Mari berkiprah sebagai perempuan yang berkemajuan dan jangan lupakan kodrat kita sebagai perempuan, penuhi amanah yang sudah diberikan serta belajar sepanjang hayat, karena beramal perlu berilmu.
Penulis: Khonsa Khoulah
0 Komentar