Lingkar Studi Pers, Bogor — Pesta politik 2024 sudah di depan mata. Partai politik, para politisi, hingga penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu sudah menyalakan mesinnya untuk menyukseskan Pemilu 2024. Salah satu indikator kesuksesan pemilu, selain berjalan dengan damai dan aman, juga tingginya partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi yang dikenal sebagai pesta rakyat, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Para politisi dan juga partai politik sudah melakukan berbagai manuver untuk bisa menggaet hati masyarakat. Kalangan anak muda dari mulai usia pemilih pemula yaitu SMA menjadi sasaran paling empuk para politisi dan penyelenggara pemilu. Mengapa demikian? Hal tersebut disebabkan karena piramida penduduk Indonesia masuk dalam kategori ekspansif, di mana piramida bagian bawah yakni usia muda 17-35 tahun lebih banyak dibanding bagian atas atau usia tua, yang mana hal itu mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia didominsasi oleh kalangan muda.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 278,69 juta jiwa pada pertengahan 2023. Di mana dari jumlah tersebut, penduduk usia produktif atau usia 15-64 tahun mencapai 65,79% setara dengan 181,0485 juta jiwa. Sedangkan usia tidak produktif mencapai 34,21% setara dengan 94,75 juta jiwa. Menuju pesta politik, biasanya sasaran empuk para aktor politik ialah para generasi muda yang turut serta menjadi penentu suara dalam menduduki kursi pemerintahan.
Namun lagi dan lagi kita harus kuat menelan pil pahit. Meskipun bonus demografi dapat dikatakan menunjang pembangunan sebuah negara, ternyata partisipasi politik generasi muda Indonesia masih rendah. Berdasarkan hasil survei Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas, yang melibatkan 1.202 responden dengan rentang usia 17-26 tahun ini cenderung tidak ingin memberikan hak suaranya alias Golongan Putih (Golput). Survei yang dilakukan pada tanggal 25 Januari-4 Februari 2023 ini mengungkapkan bahwa Generasi Z atau Gen Z yang berniat menggunakan hak pilih mereka pada pemilu 2024 nanti khususnya untuk pilpres hanya tercatat 8,6 persen, milenial muda 5,5 persen, sedangkan milenial tua hanya 2,5 persen.
Berdasarkan pemilu sebelumnya, survei Jeune & Raccord Communication pada tahun 2019 mengungkapkan, tingginya angka golput yang terjadi lantaran sikap apatis terhadap politik, mereka merasa tidak perlu datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Alasan lainnya menyebutkan, kurangnya informasi kapan hari pencoblosan. Kemudian pemilih milenial yang mengikuti isu politik juga lebih banyak didominasi gender laki-laki dibandingkan perempuan. Selain itu, pemilih yang mengikuti isu politik juga lebih didominasi oleh penduduk yang tinggal di perkotaan daripada di pedesaan.
Generasi muda masa kini lantaran hidup di era perkembangan teknologi informasi. Konsumsi mereka tidak lagi banyak tertarik dengan persoalan politik, melainkan mereka lebih menyukai hiburan, budaya pop/musik yang banyak digandrungi dan menikmati euforia media sosial yang membuat generasi ini tidak bisa jauh dari gawai.
Melihat kondisi itu, aktor politik maupun penyelenggara pemilu sedang gencar-gencarnya menjadikan anak muda sebagai komunikan atau sasaran politik untuk menyukseskan pemilu. Berbagai upaya dilakukan dari mulai melibatkan anak muda untuk membuat kampanye digital yang melibatkan tokoh muda sebagai caleg, membuat video pendek di media sosial, membuat podcast, melakukan diskusi baik secara langsung atau pun virtual, membuat jingle yang terkesan bernuansa anak muda hingga partai politik berkolaborasi dengan suatu brand untuk menyelenggarakan event seperti bazar dan menjajakan produk yang banyak digandrungi anak muda. Namun upaya-upaya tersebut masih terlihat hanya menjadikan generasi muda yang merupakan generasi masa depan sebatas menjadi komunikan atau sasaran saja.
Apabila generasi muda hanya menjadi sasaran politik saja dan semakin apatis serta menganggap bahwa aktivitas politik adalah hal yang kuno dan hanya dilakukan oleh generasi tua, stigma tersebut tentu keliru karena merekalah generasi masa depan yang nantinya akan melanjutkan estafet roda pemerintahan dan ikut serta membangun kemaslahatan rakyat. Keapatisan generasi muda dan ketidakingintahuan politik juga hanya akan membuat mereka selalu dijadikan sasaran empuk oleh para elit-elit yang memiliki kepentingan pribadi.
Jika kita lihat generasi muda tempo dulu, mereka selalu punya peran dalam perjuangan dan kemajuan pembangunan Indonesia. Bisa ditinjau kembali potret pemuda-pemuda yang selalu menjadi aktor dalam segala peristiwa penting dan bersejarah di Indonesia. Pada tahun 1908, tepatnya tanggal 20 Mei diperingatinya Hari Kebangkitan Nasional yang muncul dari lahirnya organisasi pertama yakni Boedi Utomo yang didirikan oleh Dr. Wahidin Soedirhoesodo dan dibantu 3 mahasiswa yang turut serta memperluas usahanya dalam bidang pendidikan, pertanian, industri, perternakan, perniagaan hingga kesenian. Kemudian 28 Oktober 1928, lahirnya sumpah pemuda yang merupakan momentum memersatukan gerakan pemuda Indonesia dari berbagai daerah dengan tiga ikrar yakni bernegara yang satu negara Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, dan berbahasa satu yakni Bahasa Indonesia.
Terjadinya kemerdekaan Indonesia juga karena campur tangan sekelompok pemuda yang menginginkan bangsanya agar segera merdeka. Salah satu upaya yang mereka lakukan yakni membawa Soekarno ke Rengasdengklok untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Lalu pada tahun 1966, masih ingatkah dengan perjuangan Soe Hok Gie bersama mahasiswa yang melakukan aksi Tritura yakni Tiga Tuntutan Rakyat yang isinya menuntut Presiden Soekarno untuk menurunkan harga pangan, melakukan perombakan kabinet dwikora, membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi masyarakat lainnya? Ketika perjuangan tersebut berhasil, mereka mendapat apresiasi dari masyarakat. Atas aksinya yang dianggap sebagai aksi demonstrasi pertama di Indonesia itulah lahir aksi-aksi mahasiswa yang berlangsung hingga sekarang.
Tidak hanya berhenti di situ, Mei 1998 menjadi saksi mata di mana perjuangan mahasiswa kembali ditorehkan dalam menurunkan rezim orde baru yang melengserkan kekuasaan 32 tahun Presiden Soeharto sehingga lahirnya era reformasi.
*Memahami makna politik secara luas di era masa kini*
Berbicara politik, dilihat dari beberapa pendapat ahli, politik diartikan sebagai suatu kegiatan atau cara untuk mendapatkan kekuasaan guna memimpin masyarakat dan masyarakat ikut andil dalam pengambilan keputusan dan kebijakan dalam memilih pemimpinnya. Bahkan ketika mendengar kata politik, sudah bisa dipastikan hanya terlintas persoalan pemilu, partai politik, mencoblos, kebijakan, kursi jabatan, dan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tak bisa dimungkiri, makna tersebut memang benar adanya. Namun ketika melihat era masa kini, agaknya mengartikan politik hanya sebatas mencoblos, nyaleg, masuk partai politik, lembaga pemerintahan, itu terlalu sempit.
Mari kita telaah makna politik yang dikemukakan Aristoteles pada zaman klasik. Bagi Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Bisa dilihat bahwa arti politik sangat luas. Tidak hanya sebatas berbicara negara dan pemerintahan. Justru politik seyogyanya digunakan masyarakat untuk mencapai kebaikan yang dianggap memiliki nilai moral yang lebih tinggi untuk mewujudkan kebahagiaan, keadilan, kepentingan umum, serta jauh dari praktik-praktik kotor yang digunakan demi mewujudkan kepentingan pribadi.
Generasi muda harus kembali sadar memahami politik sebagai bentuk kontribusi kepada masyarakat untuk mewujudkan kebaikan bersama. Bukti partisipasi politik generasi muda masa kini adalah dengan menjadi agent of change yang memberikan kontribusi nyata terhadap lingkungan, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Sejatinya politik adalah usaha untuk mencapai kehidupan yang baik.
Dalam konteks kesadaran lingkungan, misalnya anak muda turut serta gotong-royong membersihkan sampah di lingkungan tempat tinggal, mengurangi penggunaan sampah plastik, membangun komunitas yang peduli kebersihan, seperti halnya Pandawara Group, content creator yang aware terhadap lingkungan di Indonesia. Komunitas yang terdiri dari lima pemuda ini, berhasil membersihkan 3 pantai terkotor di Indonesia dan dalam satu tahun pandawara berhasil membersihkan 103 sungai dan menyingkirkan 73 ton sampah. Melalui aksinya yang mereka bagikan di platform media sosial tiktok, youtube, dan instagram, mereka berhasil menyadarkan banyak generasi muda sehingga turut andil pada saat pandawara membersihkan daerah-daerah tertentu. Dengan kata lain, makna politik untuk kemaslahatan umat berhasil diimplementasikan oleh pandawara sebagai generasi muda.
Tak hanya dalam isu lingkungan, generasi muda juga harus sadar dalam isu sosial seperti turut serta membantu menanggulangi korban bencana salah satunya dengan menjadi relawan yang menggalang donasi dan membantu trauma healing pada anak-anak korban bencana, membangun ataupun bergabung dalam komunitas yang peduli akan kesehatan mental, seperti komunitas Lingkar Psikologi dan Jakarta Feminist contoh kecil dari banyaknya komunitas yang berhasil menyadarkan generasi muda untuk peduli dalam menjaga kesehatan mental, sadar dalam melihat infrastruktur daerah yang lama terbengkalai dan ikut serta menyuarakannya seperti yang dilakukan oleh Bima Yudho Saputra, pemuda asal Lampung yang berani membeberkan bagaimana keadaan Lampung serta kebobrokan di dalamnya. Atas aksinya itulah, Bima memberikan contoh sebagai generasi muda. Ia berhasil menghadirkan Presiden Joko Widodo dan Menteri PUPR datang ke Lampung mengecek kondisi jalanan sekaligus memerintah Menteri Basuki Hadimuljono mengelola perbaikan jalan di Lampung sebanyak 15 ruas jalan yang rusak. Semestinya, generasi muda lainnya turut andil dalam kesenjangan-kesenjangan isu lingkungan yang banyak merenggut keadilan masyarakat.
Dalam konteks budaya, generasi muda juga harus sadar untuk membantu melestarikan budaya-budaya yang ada di Indonesia seperti mengenalkan kesenian, musik, tari tradisional dan makanan khas daerahnya masing-masing, mempertahankan cagar budaya dan mempromosikan agar dikenal khalayak luar, mencintai dan mengenakan batik sebagai warisan budaya yang diakui dunia. Contoh sederhananya seperti yang dilakukan penyanyi muda Yura Yunita, setiap tampil di berbagai panggung, ia tidak luput memvariasiakan kain batik dengan pakaian yang ia kenakan. Contoh lainnya, content creator yang mengunjungi cagar budaya dan mempromosikan lewat beberapa media sosialnya. Tentunya kita juga bisa turut andil untuk mengimplementasikannya.
Kemudian generasi muda juga harus ikut serta menjadi agent of change dalam mewujudkan undang-undang dasar alenia keempat yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, generasi muda harus peduli terhadap potret pendidikan di Indonesia yang masih banyak kesenjangannya dan ikut memajukan seperti dengan cara membangun kesadaran literasi yang dimulai dari diri sendiri dan mengajak orang sekitar terutama anak-anak agar lebih giat dalam membaca buku, menjadi relawan mengajar di berbagai pelosok daerah yang ada di Indonesia seperti halnya yang dilakukan volunteer Indonesia Mengajar, komunitas 1001 buku dan komunitas mengajar lainnya.
Tidak hanya menjadi agent of change dalam mengawal isu lingkungan, sosial, budaya dan pendidikan seperti yang telah kita sebutkan di atas, generasi muda juga harus aware terhadap digitalisasi politik yang marak terjadi di media sosial. Di mana banyak sekali berita-berita bohong (hoaks) mengenai politik yang disebarkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab dan tidak terdidik dalam hal pendidikan politik. Sebagai generasi muda yang telah lebih dulu mendapatkan pendidikan politik, kita harus turut serta memilih dan memilah informasi dan menjadi komunikator yang meluruskan informasi keliru, bukan malah ikut terpolarisasi dengan hal yang belum tentu sesuai dengan fakta dan data.
Sekali lagi, kita harus kembali merebut peran sebagai aktor yang mengimplementasikan makna politik yang luas yakni untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan umat. Politik yang bukan hanya sebatas membicarakan negara dan pemerintahan tanpa disertai kontribusi nyata untuk perubahan.
Salam Demokrasi!
Mari menjadi generasi muda yang bahu membahu untuk mewujudkan perubahan!
Penulis: Siti Zulfa Fauziah dan Raisa Kayla Amini
0 Komentar