Kearifan
Lokal dan Peran Aktif
Millenials
Tugas Bersama dalam Penyelamatan Sungai Citarum.
Oleh
: (Ahmad
Faiz Farqolith/Faperta)
Sebuah predikat
Kawan
pernah mendengar bahwa Indonesia merupakan negeri yang memiliki sumber daya alam yang melimpah? Bisa jadi sebagian besar
kawan tahu dan
menganggap hal itu lumrah. Tapi, apa kawan tahu ada sumber daya alam
kita yang mempunyai predikat amat buruk? Bisa jadi, sebagian mengetahui, sebagian lagi belum tahu, dan sebagian kemudian perlu kita ajak untuk
tahu, agar kita semua bisa ikut peduli. Berat
hati saya sampaikan, kita mempunyai salah satu sungai dengan predikat amat memprihatinkan. Berat hati kawan, Sungai
Citarum kita mendapat predikat sebagai salah satu sungai terkotor di dunia.
Sungai
Citarum pernah mendapat julukan The World Dirtiest River oleh International
Herald Tribune, pada 5 Desember 2008. Setahun berikutnya, The Dirtiest
River disematkan oleh The Sun, 4 Desember 2009 (Iqbal, 2017 dalam Mongabay Indonesia). Sungguh bukan suatu prestasi yang patut dibanggakan.
Sejenak, mari kawan kita
berkenalan dengan Citarum.
Sungai
Citarum merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat dengan panjang 269 km. Alirannya melewati beberapa kabupaten/kota, yaitu
Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Sumedang, Kota
Bandung, Kota Bekasi, dan Kota Cimahi. Banyaknya daerah yang menjadi daerah
alirannya menjadikan banyak pula penduduk yang tergantung pada Sungai Citarum,
yakni sekitar 27,5 juta jiwa. Sungai
Citarum juga menjadi sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Ada tiga waduk yang dimanfaatkan menjadi PLTA. Ketiganya adalah Waduk Saguling, Waduk Jatiluhur,
dan Waduk Cirata. Ketiganya
menghasilkan listrik sebesar 1.888 mega
watt (Richard, 2017 dalam
Tribunnews Jabar).
Begitu penting, namun mengapa
menjadi amat buruk? Ternyata,
Sekitar
2.822 industri tumbuh di kawasan sekitar Sungai Citarum. Sampah dan limbah menjadi sumber pencemaran Sungai Citarum.
Pencemaran yang diakibatkan limbah pabrik sangat serius, karena menghasilkan
280 ton limbah kimia per hari. Selain
itu, Sungai Citarum juga dicemari oleh kotoran ternak yang dibuang ke sungai. Sebanyak 29 ribu ekor sapi yang dimiliki sekitar 7.000 peternak menghasilkan limbah kotoran
mencapai lebih dari 400 ton per hari. Selain
berbahaya bagi lingkungan, sampah dan limbah di Sungai Citarum juga berbahaya
bagi ikan dan kesehatan manusia. Penebangan pohon di
sekitar hulu Sungai Citarum menyebabkan kadar erosi tinggi mencapai 31,4% dari
luas wilayah Sungai Citarum dan sedimentasi mencapai 7900 ton per hektar.
Akibatnya, terjadi penurunan muka air tanah mencapai 5 meter per tahunnya. Proses erosi di hulu, menyebabkan sedimentasi di
Citarum bagian tengah. Laju
sedimentasi di Waduk Saguling mencapai 8,2juta meter kubik per tahun , di Waduk
Cirata 6,4 juta meter kubik per tahun, dan Waduk Jatiluhur mencapai 1,6 juta
meter kubik per tahun (Richard, 2017 dalam
Tribunnews Jabar).
Perkembangan
sosial ekonomi memicu urbanisasi dan pertumbuhan penduduk. Hal ini menyebabkan kurangnya lahan hijau di
daerah aliran sungai Citarum dan tumbuhnya pemukiman serta industri. Kalau sudah seperti ini, lantas bagaimana langkah kita
untuk menyelamatkannya?
Menyelamatkan Citarum
adalah Tugas Bersama
Kompleksnya permasalahan pengelolaan Sungai Citarum
membutuhkan sinergi dari semua pihak yang ada. Program sebaik apapun dari
Pemerintah, tidak akan dapat maksimal tanpa peran aktif semua unsur komunitas
masyarakat yang ada. Juga, sehebat apapun semangat dari komunitas masyarakat
yang ada, akan berujung sia-sia tanpa regulasi yang berpihak pada komunitas
masyarakat, seperti lemahnya penegakan aturan terhadap pabrik-pabrik pencemar
di sepanjang aliran Sungai Citarum yang ada.
Menyelamatkan Citarum adalah Tugas Bersama, semua unsur harus bersinergi
bersama, dimana diantaranya;
-
Pemerintah menegakkan
peraturan terhadap pabrik-pabrik yang mencemari Sungai Citarum, karena
pembiaran pelanggaran hanya akan terus memperparah keadaan. Menggalakkan
penghijauan pemulihan ekosistem penyangga di daerah hulu, tengah maupun hilir
Sungai Citarum. Serta tentunya membuat sebuah program pengelolaan yang terpadu
dengan melibatkan semua elemen yang terlibat dalam pengelolaan Sungai Citarum
seperti masyarakat, mahasiswa dan akademisi, pengusaha, serta seluruh komunitas
dan organisasi yang terkait dengan masalah pengelolaan Sungai Citarum.
-
Masyarakat berperan aktif
dengan berperilaku ramah lingkungan dengan tidak membuang sampah ke sungai.
Perhatian terhadap sampah sangat diperlukan, karena meskipun pemerintah
mempunyai program untuk pengelolaan sampah, program apapun tidak akan maksimal
tanpa bantuan dan semangat mengurangi sampah dari kita sendiri. Sebelum
melimpahkan tanggungjawab pada pemerintah, kita bisa mengurangi sendiri dan mengajak
orang di sekitar untuk melakukan hal yg sama. Karena kita yg paling tahu
permasalahan di sekitar kita, paling paham dan yg paling bisa peduli (Latifa,
2018).
-
Mahasiswa dan akademisi
lembaga pendidikan adalah agen-agen perubahan yang dapat menggoptimalkan daya
dan upaya dilakukan untuk penyelamatan Sungai Citarum melalui inovasinya dengan
terobosan teknologi dan pemikiran. Keberhasilan suatu teknologi dan pemikiran bukan hanya terukur
semu dari kepopuleran suatu teori atau panjangnya deretan gelar kebanggaan.
Melainkan yang utama adalah bermanfaat luas sebagai solusi dari berbagai
permasalahan kehidupan, dalam hal ini sebagai solusi penyelamatan Sungai
Citarum.
-
Pengusaha harus menerapkan
pengelolaan usaha yang ramah lingkungan. Karena bagaimanapun, usaha-usaha yang
dijalankan dengan mengorbankan hak-hak masyarakat dan lingkungan akan menjadi
bumerang yang akan menghancurkan usaha apa saja, walau dengan uang sogokan
sebanyak apapun. Karena ketika sumber air sudah tercemar, pohon-pohon telah
dibabat habis, lautan dikuras isinya dan semua sumber daya alam telah rusak,
manusia akan sadar bahwa uang tidak dapat dimakan, kemewahan semu tidak dapat
menyelematkan manusia dari bencana kerusakan lingkungan.
-
Serta semua komunitas,
organisasi dan gerakan yang dapat berperan dalam penyelamatan Sungai Citarum
dengan berkontribusi sesuai arah gerakannya seperti LSM konservasi lingkungan,
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi, komunitas pecinta alam, pemuda karang
taruna, ibu-ibu PKK, Gerakan Mengajar, dan semua pihak yang dapat memberikan
kontribusi bagi penyelamatan lingkungan Sungai Citarum. Karena untuk menjadi
peduli tidak harus menjadi sesuatu yang hebat dan terkenal, cukup menjadi
manusia yang sadar, bahwa kita harus tahu diri untuk berperilaku lebih ramah,
bagi bumi yang kita tumpangi sebagai rumah.
-
Semua dapat berperan serta,
bahkan termasuk para netizen dengan jari-jemari dan gadgetnya di mana saja.
Peran Aktif Millenials dalam
Pengelolaan Sungai Citarum, Gadget dan Relawan berbasis Komunitas
Seperti
kawan ketahui dan rasakan, generasi muda masa kini erat hubungannya dengan
media sosial. Tidak semua orang membawa buku, tapi hampir semua orang membawa
gadget dan selalu terhubung dengan media sosial.
Menurut
laporan Digital in 2017: Southeast Asia, sekitar 132,7 juta atau 50
persen dari total populasi Indonesia yang mencapai 262 juta jiwa adalah
pengguna internet (Lazuardi, 2018 dalam viva.co.id)
Dari
total populasi tersebut, 106 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial
dan 92 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial melalui aplikasi mobile. Tak heran, Indonesia menjadi
negara ke delapan terbesar dalam hal penggunaan internet. Hal ini memungkinkan tersebarnya suatu trend atau
informasi secara viral dalam waktu yang relatif cepat. Ketika sebuah informasi yang sangat penting dan mendesak
seperti meletusnya Gunung Agung di Bali dan beberapa peristiwa penting lainnya,
komunitas-komunitas masyarakat berbondong-bondong menggelar aksi solidaritas
melalui media sosial dengan bermacam-macam bentuk gerakannya. Ada yang bergerak
dengan mengumpulkan donasi, ada yang bergerak dengan mengirimkan relawan ke
lokasi serta gerakan-gerakan lain sesuai arah gerak komunitasnya yang cepat
menyebar karena viral di media sosial.
Sebagai sumber daya yang sangat penting bagi masyarakat
Jawa Barat, tercemarnya Sungai Citarum ini amat perlu untuk disebarluaskan
informasinya melalui berbagai platform
media, termasuk media sosial, sehingga kesadaran masyarakat yang mendapat
informasinya akan bertambah dan diharapkan akan semakin banyak
komunitas-komunitas yang peduli. Sebuah
langkah maya yang berimplikasi nyata ketika semua komunitas melalui media
sosialnya ikut berperan aktif di seluruh daerah terdampak bahkan juga
daerah-daerah lainnya di Jawa Barat khususnya, maupun masyarakat Indonesia pada
umumnya, dalam upaya penyelamatan Sungai Citarum.
Kearifan Lokal dalam dalam
Pengelolaan Sungai Citarum.
Kawan-kawan dapat bertahan selamanya tanpa gadget dan
tanpa uang seperti suku pedalaman. Tapi asal kawan tahu, kita tidak dapat hidup mungkin
berminggu-minggu tanpa makanan dan kawan tak akan hidup bertahan lama
berhari-hari tanpa air minuman. Sumber daya air merupakan sumber kebutuhan yang
sangat potensial bagi aktivitas makhluk hidup untuk menjaga proses perkembangan
hidupnya. Kebutuhan akan air tidak bisa dilepaskan pada makhluk hidup baik
hewan maupun tumbuhan. Air merupakan kebutuhan paling esensial bagi makluk
hidup Kekurangan air manusia, hewan, dan tumbuhan akan terganggu pertumbuhan,
kesehatan, dan produktivitasnya, bahkan akan mati (Manik dan Edy, 2009). Tanpa
adanya keberadaan air bisa dimungkinkan tidak akan ada tanda-tanda kehidupan di
dunia ini.
Menurut Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, Pengelolaan Sumber Daya Air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Oleh karena itu
keberadaan air ini sangat penting dalam kuantitas, kualitas dan waktu tertentu
yang bisa untuk diharapkan guna menjamin keberlangsungan kelestarian hidup
masyarakat dan lingkungan yang secara berkelanjutan. Keberadaan masyarakat
tradisional sangat penting untuk terlibat dalam pelestarian sumber daya
perairan. Kearifan tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang ada di
masyarakat (tradisional) dan secara turun-menurun dilaksanakan oleh masyarakat
yang bersangkutan (Amin, Hartuti, dan Didi, 2012). Cara yang paling banyak
berhasil dalam mengkonservasi atau mengelola sumber daya alam (hutan, tanah, dan
air) melalui masyarakat adat secara tradisional yang memiliki pengetahuan,
pemahaman dan kebiasaan yang mampu mencegah kerusakan fungsi lingkungan.
Sejatinya,
orang Sunda sebagai masyarakat asli Jawa Barat mempunyai falsafah kearifan
lokal yang amat ramah terhadap lingkungan. Pepatah orang Sunda masa silam
memiliki kearifan anjuran untuk memanfaatkan ruang secara bijaksana dan
memelihara lingkungan. Kearifan itu antara lainnya;
gunung kaian (gunung
rimbun oleh pepohonan);
pasir talunan
(bukit-bukit digarap dengan sistem talun);
sampalan kebonan (lahan
terbuka luas dikebunkan);
gawir awian (tebing-tebing
ditanami bambu);
daratan imahan (daerah
datar untuk mendirikan rumah);
susukan caian
(pelihara air di parit-parit untuk sumber mata air).
Lalu;
legok balongan (daerah
cekungan yang banyak air sebagai kolam sumber air)
walungan rawateun
(sungai-sungai dan sempadannya dipelihara);
dataran sawahan (lahan
datar tanami padi sawah);
basisir jagaeun (pantai
dan laut dijaga dan lindungi);
gunung teu meunang dilebur (gunung
tidak boleh dihancurkan);
lebak teu meunang dirusak (daerah
lembah jangan dirusak);
serta
mipit kudu amit, ngala kudu menta (memungut dan meramu harus mohon izin).
Pengetahuan
asli yang dimiliki suatu komunitas, kata Chambers
& Richards (1995:xiii) tidak lagi dipandang sebagai takhayul (superstition), tetapi telah mengajarkan kita pada kerendahan hati dan kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas sebelum kita mengajari mereka. Meneladani kearifan lokal masyarakat Sunda terhadap lingkungan akan dapat berkontribusi terhadap perbaikan lingkungannya, terutama untuk generasi orang tua kita yang pada masanya amat patuh sekali terhadap kearifan lokal. Disamping itu, kearifan lokal yang melekat pada masyarakat lokal Sunda khususnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya adalah budaya gotong royong. Budaya ini akan sangat baik apabila diterapkan dalam rangka penyelamatan lingkungan Sungai Citarum, karena sebaik apapun program pemerintah apabila masyarakat sendiri tidak berperan aktif, maka akan sulit mencapai tujuan yang diharapkan. Karena tentu kawan-kawan menyadari, bahwa orang-orang yang tinggal di lingkungan Sungai Citarum-lah yang paling tahu permasalahannya, mereka orang-orang yang paling paham kondisinya serta tentu mereka yang terdampaklah yang pertama kali peduli terhadap masalahnya.
& Richards (1995:xiii) tidak lagi dipandang sebagai takhayul (superstition), tetapi telah mengajarkan kita pada kerendahan hati dan kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas sebelum kita mengajari mereka. Meneladani kearifan lokal masyarakat Sunda terhadap lingkungan akan dapat berkontribusi terhadap perbaikan lingkungannya, terutama untuk generasi orang tua kita yang pada masanya amat patuh sekali terhadap kearifan lokal. Disamping itu, kearifan lokal yang melekat pada masyarakat lokal Sunda khususnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya adalah budaya gotong royong. Budaya ini akan sangat baik apabila diterapkan dalam rangka penyelamatan lingkungan Sungai Citarum, karena sebaik apapun program pemerintah apabila masyarakat sendiri tidak berperan aktif, maka akan sulit mencapai tujuan yang diharapkan. Karena tentu kawan-kawan menyadari, bahwa orang-orang yang tinggal di lingkungan Sungai Citarum-lah yang paling tahu permasalahannya, mereka orang-orang yang paling paham kondisinya serta tentu mereka yang terdampaklah yang pertama kali peduli terhadap masalahnya.
Sumber
Pustaka
Amin, P., Hartuti, P., & Didi, D. A. 2012. Nilai Pelestarian Lingkungan dalam Kearifan
Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampung Surau Kabupaten Dharmasraya
Provinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar Jurnal Pendidikan Sosial, Vol. 3, No. 2, Desember 2016, (hal. 98-103).
Semarang.
Chambers, R. dan P. Richards. 1995. The Cultural dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems.
London: Intemediate Technology Publications. Hlm. xiii-xiv.
Iqbal, Donny. 2017. Peluang
yang Selalu Ada untuk Pulihkan Sungai Citarum. https://www.mongabay.co.id/2017/11/27/peluang-yang-selalu-ada-untuk-pulihkan-sungai-citarum/ . Diakses pada Jum’at 25 Mei 2018
Utama, Lazuardi. 2018. Membidik Generasi Muda Melek
Digital lewat Hackaton.
viva.co.id%2Fdigital%2Fdigilife%2F1009085-membidik-generasi-muda-melek-digital-lewat-hackhaton.
Diakses pada Jum’at 25 Mei 2018
Manik, K., & Edy, S. 2009. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Djambatan.
Modul Pendidikan Kebudayaan Daerah. _. Kearifan Lokal
Masyarakat Sunda. Universitas PGRI Yogyakarta.
Richard, Theofilus. 2017. Fakta Soal di Balik Joroknya Sungai Citarum. http://jabar.tribunnews.com/2017/11/24/6-fakta-soal-di-balik-joroknya-sungai-citarum-termasuk-275-juta-jiwa-hidup-dari-sungai-ini?page=all. Diakses pada Jum’at 25 Mei 2018
Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.
1 Komentar
WAGELASEEEHHH
BalasHapus